Ikom.umsida.ac.id – Proses pembuatan film dokumenter berjudul “Kehidupunk” menjadi karya menarik yang lahir dari mata kuliah filmologi dan sinematografi mahasiswa Ilmu Komunikasi (Ikom) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida).
Film ini tidak sekedar dokumentasi visual, tetapi menjadi upaya mahasiswa menyuarakan realitas sosial dan membongkar stigma terhadap komunitas punk jalanan.
Mengangkat cerita komunitas punk Blackdog yang bermarkas di Jl. Malik Ibrahim No.12-8, Pucanganom, Sidoarjo, film ini menyajikan sisi humanis yang jarang diketahui masyarakat.
Sekelompok mahasiswa mencoba menyampaikan bahwa punk bukan hanya tentang penampilan ekstrem, tetapi juga tentang solidaritas, spiritualitas, dan nilai-nilai kehidupan yang selama ini terselubung.
Baca juga: Mencari Akar di Era Global: Apakah Gen Z Mengalami Krisis Identitas Budaya?
Awal Mula: Ide yang Tiba-Tiba Muncul
Ide film ini tidak lahir dari perencanaan panjang. Semuanya dimulai secara spontan saat salah satu anggota kelompok memperhatikan keseharian anak-anak punk yang sering terlihat di jalanan.
“Awalnya ide itu tiba-tiba aja muncul. Sering lihat anak punk yang penampilannya nyentrik banget rambut mohawk, tato, baju serba hitam tapi saya yakin ada cerita di balik itu,” ungkap Fitri, penulis naskah film Kehidupunk.
Fitri menjelaskan bahwa banyak orang hanya melihat sisi luar kelompok punk dan langsung memberi cap negatif.
Hal itu yang kemudian mendorong tim untuk menggali lebih dalam kehidupan mereka melalui film dokumenter.
“Akhirnya kami sepakat buat angkat tema ini karena kami yakin, mereka juga punya cerita yang layak didengar. Dari situ muncul ide judul Kehidupunk, dan kami tambahkan kampanye sosial #WongLiyoNgertiOpo. Artinya, orang lain ngerti apa ? Ini jadi bentuk kritik terhadap stereotip masyarakat,” tambahnya.
Lihat juga: Saat Bakat dan Kerja Keras Dibayar: Ini Dia Moment Terbaik dari Comfest 2.0
Pertemuan dengan Komunitas Punk Blackdog
Dalam proses pengerjaan, tim film bertemu langsung dengan komunitas Blackdog di Sidoarjo. Dari pertemuan itu, banyak pandangan mahasiswa yang berubah.

“Pas ketemu mereka, kita ngobrol terbuka. Mereka cerita kehidupan mereka yang jauh dari gambaran negatif selama ini,” ujar Naris, sutradara film.
Menurut Naris, banyak dari mereka yang sebenarnya religius, punya solidaritas tinggi, bahkan aktif dalam kegiatan sosial.
Hanya karena tampilan mereka yang tidak umum, masyarakat sering kali langsung menilai secara sepihak.
“Mereka bilang ke kami, ‘Kami bukan minta dimaklumi, cukup jangan disudutkan.’ Itu kalimat yang bikin kami makin yakin bahwa cerita ini penting disampaikan lewat film,” tutur Naris.
Film Sebagai Media Edukasi Sosial
Bagi tim pembuat film, Kehidupunk bukan sekadar tugas mata kuliah, tetapi media untuk menyampaikan pesan empatik kepada masyarakat luas.

“Kami ingin film ini membuka sudut pandang baru. Bahwa manusia tidak bisa dinilai hanya dari penampilannya. Kita harus lihat latar belakang, cerita hidup, dan nilai-nilai yang mereka pegang,” jelas Fitri.
Ia menambahkan bahwa pesan utama film ini adalah soal kesetaraan dalam memanusiakan manusia.
“Anak punk juga manusia. Mereka punya hati, keyakinan, dan mereka juga butuh dihargai seperti kita semua,” katanya.
Membalik Narasi, Membangun Empati
Menurut Naris, salah satu kekuatan film dokumenter adalah kemampuannya membalik narasi arus utama.
Selama ini, narasi tentang punk selalu dikaitkan dengan kenakalan dan kriminalitas. Film ini hadir untuk menyampaikan hal sebaliknya.
“Justru kita temukan bahwa mereka punya komunitas yang kuat, saling bantu satu sama lain, dan mereka juga punya aturan sendiri yang dijaga,” jelasnya.
Ia berharap film ini bisa menyentuh masyarakat dan membuka ruang dialog tentang keberagaman sosial.
“Film ini kami buat agar masyarakat tidak memandang sebelah mata. Anak punk juga punya kehidupan. Mereka juga manusia seperti kita, yang ingin dihargai dan dipahami,” tegas Naris.
Pesan Moral Lewat Kamera
Dalam penyusunannya, kelompok ini memilih gaya dokumenter observatif. Mereka tidak memberi narasi langsung, tetapi membiarkan suara para anggota komunitas punk bercerita sendiri.
“Biar penonton sendiri yang merasakan dan menyimpulkan. Kita hanya bantu merekam dan menyampaikan apa adanya,” kata Fitri.
Dengan film ini, mahasiswa Ikom Umsida membuktikan bahwa media visual bisa menjadi alat perubahan sosial.
Kehidupunk bukan hanya soal sinematografi, tetapi juga soal keberanian menyuarakan yang tersisih dan yang sering diabaikan oleh masyarakat.
Penulis: Agung Wisnu Prayoga
Penyunting: Indah Nurul Ainiyah