Ikom.umsida.ac.id – Buka media sosial, scrolling sebentar, dan hampir pasti kamu bakal nemu hashtag #KaburAjaDulu berseliweran. Dari yang bercanda soal pindah ke Jepang biar bisa makan ramen tiap hari, sampai yang serius pengen menetap di Eropa karena udah capek sama kondisi di sini.Tapi sebenarnya fenomena ini cuma sekadar wacana anak muda yang lagi bosan, atau memang ada tren nyata soal keinginan generasi sekarang buat ‘angkat kaki’ ke luar negeri?
Kenapa Banyak yang Mau ‘Kabur’?

Mimpi buat pindah ke luar negeri sebenarnya bukan hal baru. Tapi di era digital, hasrat ini semakin kuat apalagi setelah banyak orang nge-share pengalaman mereka yang sukses hidup di luar negeri.
Ditambah lagi, faktor-faktor ini bikin keinginan itu makin menguat:
1. Faktor ekonomi & karier
Banyak yang merasa kesempatan kerja dan gaji lebih menjanjikan di luar negeri. Dengan ekonomi yang naik turun, biaya hidup makin mahal, dan persaingan kerja ketat, banyak yang mulai berpikir: Kenapa enggak cari peluang di luar aja?
2. Kultur & lifestyle
Jepang, Korea, Eropa, atau Amerika, banyak anak muda yang udah terpapar budaya luar sejak kecil lewat film, musik, dan media sosial. Ini bikin mereka ngerasa lebih relate sama gaya hidup di sana dibanding di negara sendiri.
3. Kebebasan & kualitas hidup
Beberapa orang merasa bahwa di negara lain terutama di negara maju, kualitas hidup lebih baik, mulai dari hak pekerja, sistem pendidikan, sampai kebebasan berekspresi.
4. Efek media sosial
TikTok, Twitter, dan Instagram penuh dengan cerita inspiratif dari orang-orang yang sukses ‘hijrah’ ke luar negeri.
Dari kerja remote di Bali sampai kuliah gratis di Eropa, konten-konten ini bikin banyak orang merasa mungkin aja gue juga bisa!
Baca juga: Dari Toko Kecil ke Nama Stasiun, Kopi TUKU Punya Strategi Branding Out of the Box
Wacana Doang atau Ada yang Beneran Cabut?
Tren #KaburAjaDulu gak cuma omong kosong. Data menunjukkan makin banyak anak muda yang serius mempertimbangkan pindah ke luar negeri.
Beberapa cara yang mereka tempuh antara lain:
1. Beasiswa & studi lanjut
Banyak yang berburu beasiswa untuk bisa tinggal di luar negeri dengan alasan pendidikan, dari LPDP sampai Erasmus.
2. Kerja remote & digital nomad
Seiring dengan meningkatnya peluang kerja remote, banyak yang memilih kerja dari luar negeri tanpa harus benar-benar menetap di sana.
3. Visa kerja & PR (Permanent Residency)
Negara seperti Kanada dan Australia menawarkan jalur imigrasi yang terbuka untuk profesional muda, dan ini jadi daya tarik besar. Realita: Tinggal di Luar Negeri Gak Selalu Seindah Feed Instagram
Meskipun banyak yang pengen cabut, realitanya gak selalu semulus ekspektasi. Beberapa hal yang sering jadi kendala di antaranya:
1. Proses administrasi yang ribet
Dari visa sampai izin tinggal, gak semua orang bisa dengan mudah dapet akses buat pindah ke luar negeri.
2. Biaya hidup yang tinggi
Negara yang populer buat imigran, seperti Jepang atau Eropa Barat, punya biaya hidup yang jauh lebih mahal dibanding di Indonesia.
3. Culture shock & homesick
Hidup di luar negeri gak cuma soal Instagramable moments, tapi juga adaptasi dengan budaya yang beda jauh dan harus jauh dari keluarga serta teman.
Jadi, #KaburAjaDulu Ini Cuma Tren atau Emang Ada Pergeseran?
Tren ini mungkin dimulai dari candaan, tapi ada indikasi bahwa banyak anak muda benar-benar mempertimbangkan buat cari masa depan di luar negeri.
Lihat juga: Budaya Organisasi, Kepuasan Kerja, dan Dukungan: Kunci Mendorong OCB di Tempat Kerja
Bukan sekadar ‘lari’ dari masalah, tapi mencari peluang dan kehidupan yang lebih sesuai dengan harapan mereka.
Tapi di sisi lain, keputusan buat pindah ke luar negeri gak bisa diambil cuma karena tren. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, dari kesiapan finansial sampai kesiapan mental buat hidup di lingkungan yang beda banget dari apa yang kita kenal.
So, kalau kamu salah satu yang sering nge-tweet atau nge-post #KaburAjaDulu, pertanyaannya sekarang, udah siap benar-benar cabut, atau masih sekadar wacana?
Penulis: Kiki Widyasari Hastow