Ikom.umsida.ac.id – Jika dulu branding kopi cuma sebatas kemasan estetik dan tagline catchy, Kopi TUKU justru melangkah lebih jauh sampai ke peron stasiun.
Bukan sekadar ekspansi biasa, mereka membeli hak penamaan Stasiun Cipete Raya dan mengubahnya menjadi Stasiun TUKU Cipete Raya.
Langkah ini bukan cuma soal branding, tapi juga membuktikan bagaimana sebuah bisnis lokal bisa bermain di level yang lebih
besar.
Lihat juga: Digital Footprint Aman atau Bikin Malu di Masa Depan?
Bukan Sekadar Nama, Tapi Mindset Baru
Kopi TUKU bukan nama baru di dunia perkopian Indonesia. Berawal dari kedai kecil di Cipete, TUKU sukses membangun loyalitas pelanggan lewat konsep kopi susu sederhana yang dekat dengan keseharian orang Jakarta.

Tapi yang bikin mereka standout bukan cuma rasa kopinya, melainkan cara mereka membangun brand yang terasa humble tapi berkelas.
Mulai dari branding melalui collab -collab, hingga saat ini bisa fokus ke cara lain dan bikin orang selalu ingat TUKU.
Membeli hak penamaan stasiun adalah gebrakan yang gak biasa. Biasanya kita melihat strategi branding dalam bentuk billboard, sponsor acara, atau kolaborasi dengan influencer.
Tapi TUKU memilih sesuatu yang lebih permanen dan berhubungan langsung dengan keseharian orang-orang. “Nama stasiun itu sesuatu yang melekat di kepala banyak orang karena dipakai setiap hari.
Jadi dengan mengubahnya menjadi Stasiun TUKU Cipete Raya, secara gak langsung kita menciptakan asosiasi antara TUKU dan Cipete yang semakin kuat,” ujar seorang pengamat branding.
Baca juga: Building Your Brand: Langkah Awal Digitalisasi Usaha Nasyiatul Aisyiyah Sidoarjo
Strategi Branding yang Gak Mainstream
Banyak brand besar yang fokus pada digital marketing atau influencer endorsement, tapi TUKU memilih jalur hyperlocal marketing yang lebih otentik.
Konsep ini berfokus pada memperkuat keterikatan brand dengan lingkungan sekitar, sehingga menciptakan koneksi yang lebih personal dengan pelanggan.
Banyak konten yang sudah membahas tentang ‘keinginan’ membeli TUKU setelah dengar pemberitahuan “Stasiun berikutnya, Cipete Raya TUKU”.
So, ini branding yang kuat banget kan? Langkah TUKU ini juga mengingatkan pada strategi serupa yang pernah dilakukan di luar negeri, seperti naming rights sponsorship pada stadion olahraga atau transportasi umum.
Misalnya di Jepang, ada beberapa stasiun yang namanya diubah karena kerja sama dengan perusahaan besar.
Selain branding, ada juga aspek keberlanjutan bisnis. Nama stasiun ini bukan cuma alat marketing, tapi juga mempertegas posisi
TUKU sebagai bagian dari komunitas Cipete. Artinya brand ini gak sekadar hadir untuk jualan, tapi benar-benar ingin membangun identitas yang kuat di lokasi tersebut.
Dampaknya: Dari Kesadaran Brand ke Loyalitas Pelanggan
Dampak dari strategi ini gak cuma sekadar bikin nama TUKU makin dikenal. Ada beberapa hal yang bisa terjadi:
• Peningkatan awareness
Nama “Stasiun TUKU Cipete Raya” akan terus disebut oleh ribuan orang setiap harinya, secara
gak langsung menanamkan brand ke benak masyarakat.
• Brand positioning yang lebih kuat
TUKU berhasil mengukuhkan diri sebagai brand lokal yang bukan cuma ‘jualan kopi’, tapi juga
punya pengaruh besar dalam lingkungannya.
• Meningkatkan traffic pelanggan
Orang yang lewat atau turun di stasiun ini akan lebih aware dengan kedai TUKU, dan peluang
mereka mampir untuk beli kopi juga meningkat.
Banyak brand lokal yang punya produk bagus, tapi gak semua berani mengambil langkah branding yang out of the box seperti ini.
3 hingga 5 Miliar bro! Founder TUKU di wawancara radio bilang “Gak papa keluar segitu, emang mau kejar impactnya”.
Kopi TUKU membuktikan bahwa bisnis lokal juga bisa main di level yang lebih besar tanpa kehilangan identitasnya.
Dengan mengubah nama stasiun, TUKU bukan cuma beriklan tapi juga membangun warisan brand yang akan terus diingat.
Dari sekadar kedai kecil di Cipete, sekarang TUKU sudah menjadi bagian dari keseharian warga Jakarta bahkan sampai ke peron stasiun.
So, kapan terakhir kali kalian minum Kopi TUKU sambil nunggu kereta?
Penulis: Kiki Widyasari Hastowo