Ikom.umsida.ac.id – Pernah gak sih kamu perhatiin di tongkrongan anak muda zaman sekarang, ada tiga benda yang hampir selalu nongol yaitu, vape di tangan, es kopi di meja, dan outfit hasil thrift shop.
Kayaknya di mana-mana kombinasi ini selalu ada deh, dari kafe hits, hidden gem, sampai kampus-kampus di kota-kota besar.
Bisa dibilang ini udah jadi bagian dari estetika anak muda zaman sekarang. Tapi kalau dipikir pikir lagi, kenapa sih tiga hal ini yang menonjol?
Apa karena faktor tren semata atau ada branding yang terbentuk secara nggak sadar.
Apakah ini benar-benar gaya hidup yang dipilih karena selera pribadi, atau kita tanpa sadar ikut membentuk identitas berdasarkan apa yang lagi popular nih?
Vape: Dari Rokok Elektrik ke Lifestyle Statement
Awalnya vape muncul sebagai alternatif rokok, dengan klaim lebih “aman” dan punya banyak varian rasa.
Tapi seiring waktu, vape bukan cuma soal nikotin tapi juga status sosial.
Bukan lagi identik digunakan pria, bahkan wanita sudah sering terlihat hype sama benda satu ini. Bukan lagi soal pertarungan Malboro kretek dan Gudang Garam inter.
Dulu rokok biasa mungkin jadi simbol “bad boy” atau kesan rebel. Sekarang vape jadi cara baru buat tampil keren di tongkrongan.
Ada yang koleksi device mahal, ada yang pamer cloud trick di Instagram, dan nggak jarang yang pakai vape cuma buat gaya tanpa niat nge-switch dari rokok.
So, kalian udah berkalung lanyard vape belum?
Baca juga: Not Gonna Lie, Ini Udah Bukan Cuma Bahasa Jaksel (Jakarta Selatan) Doang
Es Kopi: Kafein atau Aesthetic?
![](https://ikom.umsida.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/kopi--600x393.png)
Dulu, kopi itu minuman bapak-bapak dikala melihat senja sepulang kerja atau menunggu waktu ibadah. Sekarang? Es kopi kekinian udah jadi daily essentials anak muda.
Brand-brand seperti Kopi Kenangan, Janji Jiwa, sampai Starbucks bukan cuma jual minuman, tapi juga lifestyle.
Bukan lagi soal menghilangkan dahaga, tapi kalo bukan americano ya belum hidup.
Gak cuma kopinya yang disorot, bahkan baristanya juga identik sama identitas sosial Gen Z. Outfit skena, lagi-lagi vape, dan jadi freelance barista, udah super ngehype kalo dia adalah Gen Z abis.
Nggak heran kalau nongkrong sambil megang gelas kopi kekinian itu kayak punya vibe tersendiri.
Dari pekerja kreatif sampai mahasiswa yang sibuk tugas, kopi udah jadi simbol produktivitas dan estetika urban.
Ditambah lagi desain kemasan yang Instagrammable bikin kopi bukan sekadar minuman, tapi juga bagian dari identitas sosial.
Lihat juga: Cerdas Kelola Keuangan: Hidup Hemat, Masa Depan Aman
Thrift Shop: Biar Unik atau Biar Budget-Friendly?
Fenomena thrift shop (belanja baju bekas) naik daun karena dua alasan utama yaitu unik dan murah.
Daripada beli fast fashion yang mass-produce, banyak anak muda lebih pilih thrifting biar dapet outfit yang beda dari yang lain.
Karena pada dasarnya thrift shop adalah baju bekas, jadi gak produksi berulang. Itu yang buat barang thrift mostly beda-beda dan menemukan keunikan tersendiri.
Jadi gak kembar deh sama orang lain. Tapi kalau dipikir-pikir, thrift shop sekarang justru makin mahal.
Dulu belanja baju bekas itu pilihan buat yang pengen hemat, sekarang malah jadi bagian dari estetika dan branding personal.
Banyak influencer pamer thrift haul dan harga baju vintage naik gara-gara hype. So, thrift shop masih soal hemat atau udah jadi tren yang dieksploitasi?
Branding yang Dibentuk oleh Tren Vape, es kopi, dan thrift shop punya satu kesamaan, mereka bukan cuma barang konsumsi tapi juga bagian dari identitas dan cara kita “menjual” diri ke sosial media.
Ya itu juga termasuk dari bagian branding diri, gak salah kalo tiga hal tersebut bakalan lekat sama Gen Z.
Apakah ini sesuatu yang buruk? Nggak juga. Branding diri lewat gaya hidup itu hal yang wajar di era digital.
Tapi kalau semuanya cuma buat terlihat keren tanpa benar-benar dinikmati, mungkin kita perlu nanya ke diri sendiri deh ya.
Aku suka ini beneran atau cuma ikut-ikutan? Hehe.
Penulis: Kiki Widyasari Hastowo