Ikom.umsida.ac.id – Di era digital, satu tweet atau video bisa bikin seorang selebriti kena badai cancel culture.
Budaya “cancel” atau “cancel culture” telah menjadi topik yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan di internet.
Fenomena ini, yang sering kali melibatkan selebritas, tokoh publik, dan influencer, telah berkembang pesat khususnya di kalangan Gen Z.
Namun muncul pertanyaan penting, apakah cancel culture ini sebenarnya berfungsi sebagai ajang edukasi atau justru lebih sering menjadi sarana untuk saling menjatuhkan?
Baca juga: Senjata Komunikasi di Situasi Toxic Relationship: Ngomong atau Manipulasi?
Dari Kritik ke Cancel: Kapan Batasannya?
Cancel culture merujuk pada tindakan mengecam atau memboikot seseorang, biasanya tokoh publik, yang dianggap telah melakukan kesalahan atau menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial atau etika.
Awalnya cancel culture muncul buat menuntut pertanggungjawaban. Contohnya, lagi rame banget nih soal salah satu cast remake webtoon ‘Bussines Proposal’ yang kedapatan menghina penggemar Bussines Proposal versi Korea.
Netizen langsung bergerak untuk nge-cancel. Maksudnya? Boikot, berhenti dukung, dan unfollow. Tapi, masalahnya nggak selalu hitam-putih.
Ada kasus di mana seseorang dikritik habis-habisan karena kesalahan masa lalu, tanpa kesempatan untuk klarifikasi atau berubah.
Kalau udah begini, cancel culture terasa lebih seperti perundungan massal daripada edukasi.
Lihat juga: Sukses Tes TOEFL: Persiapan Wajib bagi Mahasiswa
Gen Z Jadi Hakim di Internet
Gen Z dikenal sebagai generasi yang peduli isu sosial. Tapi ada pergeseran dari diskusi sehat ke culture yang cenderung menghukum tanpa ampun.
Dengan algoritma media sosial yang bikin informasi viral dalam hitungan detik, seseorang bisa kehilangan karier hanya karena potongan video tanpa konteks.
Misalnya, ada seleb yang dulu bercanda dengan cara yang sekarang dianggap ofensif.
Haruskah dia tetap “dihukum” meski sudah meminta maaf dan berubah? Atau justru wajar karena tindakan itu punya konsekuensi?
Cancel Culture: Edukasi atau Toxic?
• Kalau positif, culture ini bisa jadi alat buat menegakkan standar moral dan sosial. Misalnya, aktor atau influencer yang melakukan pelecehan atau tindakan kriminal memang pantas di cancel.
• Tapi kalau berlebihan, ini bisa jadi bentuk cyberbullying loh. Nggak jarang orang yang di cancel sampai mengalami tekanan mental berat, bahkan kehilangan karier dan kehidupan pribadinya.
Cancel culture bisa bermanfaat kalau digunakan dengan bijak, tapi bisa berbahaya kalau jadi ajang menghakimi tanpa solusi.
Mungkin yang lebih tepat bukan sekadar nge-cancel, tapi memberikan ruang buat klarifikasi dan perubahan.
Karena pada akhirnya, semua orang pernah salah. Pertanyaannya, apakah kita mau menghukum selamanya atau memberi kesempatan buat tumbuh?
Penulis: Kiki Widyasari Hastowo