Ikom.Umsida.ac.id – Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Ikom Umsida) yang sedang menjalani program magang di Metro today berkesempatan meliput langsung salah satu kuliner legendaris Kabupaten Sidoarjo, yaitu Rujak Cingur Mbak Tila Tanggulangin.
Liputan ini menjadi pengalaman berharga bagi mahasiswa magang yang tidak hanya belajar menulis berita kuliner, tetapi juga menggali nilai-nilai budaya lokal yang terkandung di balik setiap sajian tradisional.
Baca juga: Umsida Luncurkan Program Studi Magister Ilmu Komunikasi: Menjawab Tantangan Media Baru dan PR
Cita Rasa Legendaris Sejak 1970-an
Berlokasi di Jalan Wates Utara, Desa Kedensari, Kecamatan Tanggulangin, warung sederhana ini telah berdiri sejak tahun 1970-an dan kini dikenal luas hingga ke luar daerah, bahkan mancanegara.
Meski tampak sederhana, suasananya selalu ramai pengunjung setiap hari, mulai dari warga lokal hingga wisatawan dari luar kota.
Nama Rujak Cingur Mbak Tila sudah tak asing bagi para pencinta kuliner Jawa Timur. Tak jarang tokoh publik dan artis pun datang untuk mencicipi kelezatannya.
Salah satunya Muhaimin Iskandar (Cak Imin), yang bahkan sempat menjuluki warung ini sebagai “Rujak Cingur yang terkenal sedunia” di akun Instagram resminya, @rujak_cingur_tanggulangin.
Yang membuat sajian ini berbeda dari rujak cingur pada umumnya terletak pada bumbu kacang medenya.
Jika biasanya menggunakan kacang tanah, Rujak Cingur Mbak Tila memilih kacang mede dan petis udang khas Sidoarjo, ditambah pisang hijau muda yang diulek bersama cabai rawit. Kombinasi tersebut menghasilkan rasa gurih, manis, pedas, dan legit dalam satu suapan.

Rahasia di Balik Bumbu dan Tradisi
Rasa autentik itu disiram di atas campuran sayur-sayuran segar, tahu, tempe, lontong, serta irisan cingur sapi yang empuk.
Setiap piring disajikan dengan cara tradisional, menggunakan cobek batu dan ulekan kayu, menambah sensasi klasik yang tidak tergantikan.
“Rasanya beda banget. Petisnya kuat, tapi tetap lembut di lidah. Sekali coba, pasti pengin nambah,” ujar Risa, salah satu pengunjung yang datang dari Surabaya, saat ditemui di warung pada Kamis (23/10/2025).
Kini, warung legendaris ini dikelola oleh Muhammad Fatoni, generasi ketiga dari keluarga pendiri. Ia meneruskan resep asli yang diwariskan turun-temurun.
Dalam sehari, warung ini bisa menjual 150–200 porsi, dan biasanya sudah habis sebelum jam makan siang. Satu porsi dibanderol Rp25.000, harga yang sepadan dengan cita rasa khas yang sulit dilupakan.
Baca juga: Mahasiswa Magang Metro Media Tunjukkan Peran Penting dalam Liputan Job Fair Inklusif 2025
Pelajaran Jurnalistik dari Dapur Kuliner Tradisional
Bagi mahasiswa magang Ikom Umsida, liputan ini bukan sekadar menulis tentang makanan. Mereka belajar mengenal lebih dalam tentang budaya, sejarah, dan nilai sosial yang melekat pada kuliner tradisional.
Melalui bimbingan redaksi Metrotoday, para mahasiswa juga diajak memahami bagaimana menggabungkan unsur deskripsi, narasi, dan fakta jurnalistik dalam satu tulisan yang menggugah pembaca.
Salah satu mahasiswa magang, Amelia, mengungkapkan rasa antusiasnya saat pertama kali melakukan liputan kuliner di lapangan.
“Awalnya saya kira liputan kuliner hanya soal rasa, tapi ternyata banyak hal menarik di baliknya. Dari cara menyajikan, sejarah warung, sampai kisah keluarga yang mempertahankan resep turun-temurun, semuanya punya nilai berita yang luar biasa,” ujar Amelia.
Amelia menambahkan bahwa kegiatan magang di Metrotoday membuatnya semakin memahami pentingnya storytelling dalam dunia jurnalistik.
Menurutnya, berita yang baik bukan hanya informatif, tetapi juga mampu menghadirkan suasana dan emosi pembaca.
“Saya belajar bahwa jurnalis harus bisa membuat pembaca seolah ikut mencicipi suasananya. Di sini saya benar-benar merasa belajar menjadi penulis berita yang peka terhadap detail,” tambahnya.

Kuliner, Budaya, dan Identitas Daerah
Melalui liputan ini, mahasiswa UMSIDA belajar bagaimana kuliner lokal dapat menjadi bagian dari identitas budaya daerah.
Warung Rujak Cingur Mbak Tila bukan sekadar tempat makan, tetapi juga saksi hidup perjalanan cita rasa masyarakat Sidoarjo selama lebih dari setengah abad.
Kelezatan yang bertahan puluhan tahun menjadi bukti bahwa tradisi dan keotentikan masih diminati di tengah gempuran kuliner modern.
Dari dapur sederhana di Tanggulangin, aroma kacang mede dan petis udang khas Sidoarjo terus menjadi daya tarik wisata kuliner yang tak pernah sepi.
Liputan ini pun memberi kesan mendalam bagi para mahasiswa magang Metrotoday. Mereka menyadari bahwa menjadi jurnalis berarti menjadi penutur kisah lokal yang memberi makna bagi masyarakat.
Lewat sajian Rujak Cingur Tanggulangin, mereka belajar menulis dengan rasa bukan hanya dari kata, tapi juga dari hati.
Penulis :Ana Sofiana
Penyunting: Airin Zhafirah Rahmah


















